MENJADI
MANUSIA: MENGENAL PENDIDIKAN KLASIK
Oleh :
Siti Umroh
“Waktu adalah penguji yang paling ketat”,
demikian ujar Pdt. Stephen Tong di dalam satu khotbahnya. Sejalan dengan diktum
tersebut, maka ketika kita menemukan di dalam sejarah satu hal yang teruji
untuk masa yang amat panjang, selayaknyalah kita mempelajari hal tersebut.
Dalam bidang pendidikan, satu sistem yang telah teruji selama lebih dari 2.000
tahun adalah pendidikan klasik (classical education). Mulai dari
kurikulum (enkyklios paideia) dari pendidikan Yunani klasik, liberal
artes dari pendidikan Romawi, adaptasinya di dalam pendidikan Kristen pada
zaman Bapa-bapa Gereja dan kelahirannya kembali di zaman Renaissance, bahkan
sampai kepada sistem pendidikan Barat di Abad Pencerahan, pendidikan klasik
telah menjadi sistem pendidikan dasar yang solid untuk membentuk kemanusiaan
dan memperkembangkan kebudayaan manusia. Namun sayangnya, pendidikan klasik
telah dianggap kuno dan tersingkirkan oleh pendidikan modern yang lebih
menekankan keuntungan ekonomis atau kepentingan politik.
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh
satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan
klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan
aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia
di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik
Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah
terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut
‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga
ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang
menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal
yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya
melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih
rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau
berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana
ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar”
(“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).
Kita tentu sering mendengar kalimat: “Kamu harus
sekolah, supaya bisa jadi orang.” Frasa “jadi orang” ini
memiliki berbagai macam penafsiran. Kebanyakan orang menafsirkan frasa “jadi
orang” dari perspektif kesuksesan finansial: “Kamu harus sekolah, supaya
nanti bisa bekerja dan dapat uang banyak.” Jadi, menurut interpretasi ini, jika
kita tidak bisa meraih kesuksesan finansial, kita tidak layak disebut manusia.
Namun frasa “menjadi manusia” diartikan secara lain oleh para pendidik dalam
tradisi pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik berkata bahwa setiap manusia
memiliki tanggung jawab untuk memperkembangkan dirinya menuju keutuhan
kemanusiaannya.
Di dalam penekanannya akan pengembangan potensi
individual melalui pembelajaran kebudayaan manusia, pendidikan klasik tidak
mengenal dikotomi antara individu dan komunitas. Individu hanya dapat
berkembang secara penuh di dalam komunitas, dan komunitas berkembang ketika
individu berkembang. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat individualisme
modern yang menempatkan individu ke dalam sistem kompetisi di komunitasnya.
Dalam pendidikan klasik, perkembangan individu dan perkembangan komunitas
berjalan secara harmonis. Humanitas adalah kesempurnaan kemanusiaan di
dalam satu individu yang mengakibatkan kepada kemajuan kebudayaan di dalam
komunitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar