Sabtu, 20 Desember 2014

Menjadi manusia mengenal pendidikan klasik (TUGAS FILSAFAT 20)



MENJADI MANUSIA: MENGENAL PENDIDIKAN KLASIK
Oleh : Siti Umroh

“Waktu adalah penguji yang paling ketat”, demikian ujar Pdt. Stephen Tong di dalam satu khotbahnya. Sejalan dengan diktum tersebut, maka ketika kita menemukan di dalam sejarah satu hal yang teruji untuk masa yang amat panjang, selayaknyalah kita mempelajari hal tersebut. Dalam bidang pendidikan, satu sistem yang telah teruji selama lebih dari 2.000 tahun adalah pendidikan klasik (classical education). Mulai dari kurikulum (enkyklios paideia) dari pendidikan Yunani klasik, liberal artes dari pendidikan Romawi, adaptasinya di dalam pendidikan Kristen pada zaman Bapa-bapa Gereja dan kelahirannya kembali di zaman Renaissance, bahkan sampai kepada sistem pendidikan Barat di Abad Pencerahan, pendidikan klasik telah menjadi sistem pendidikan dasar yang solid untuk membentuk kemanusiaan dan memperkembangkan kebudayaan manusia. Namun sayangnya, pendidikan klasik telah dianggap kuno dan tersingkirkan oleh pendidikan modern yang lebih menekankan keuntungan ekonomis atau kepentingan politik.
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar” (“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).
Kita tentu sering mendengar kalimat: “Kamu harus sekolah, supaya bisa jadi orang.” Frasa “jadi orang” ini memiliki berbagai macam penafsiran. Kebanyakan orang menafsirkan frasa “jadi orang” dari perspektif kesuksesan finansial: “Kamu harus sekolah, supaya nanti bisa bekerja dan dapat uang banyak.” Jadi, menurut interpretasi ini, jika kita tidak bisa meraih kesuksesan finansial, kita tidak layak disebut manusia. Namun frasa “menjadi manusia” diartikan secara lain oleh para pendidik dalam tradisi pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik berkata bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk memperkembangkan dirinya menuju keutuhan kemanusiaannya.
Di dalam penekanannya akan pengembangan potensi individual melalui pembelajaran kebudayaan manusia, pendidikan klasik tidak mengenal dikotomi antara individu dan komunitas. Individu hanya dapat berkembang secara penuh di dalam komunitas, dan komunitas berkembang ketika individu berkembang. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat individualisme modern yang menempatkan individu ke dalam sistem kompetisi di komunitasnya. Dalam pendidikan klasik, perkembangan individu dan perkembangan komunitas berjalan secara harmonis. Humanitas adalah kesempurnaan kemanusiaan di dalam satu individu yang mengakibatkan kepada kemajuan kebudayaan di dalam komunitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar