- kebudayaan dan seni (TUGAS FILSAFAT 21)
- Menjadi manusia mengenal pendidikan klasik (TUGAS ...
- aliran positivisme dalam filsafat ilmu (TUGAS FILS...
- aliran filsafat pragmatisme (TUGAS FILSAFAT 18)
- ASAL-USUL NAMA BANTEN (TUGAS FILSAFAT 17)
- sejaran asal-usul serang (TUGAS FILSAFAT 16)
- MAKALAH KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN (TUGAS FILSAFAT...
- penilaian hasil belajar dalam pelaksanaan kurikulu...
- asal-asul nama desaku (TUGAS FILSAFAT 13)
- hakekat aliran idealisme (TUGAS FILSAFAT 12)
- kampus peradaban dibanten universitas sultan ageng...
- peran filsafat dalam implementasi kurikulum 2013 (...
- pentingnya filsafat pendidikan bagi pendidik (TUGA...
- tujuan pendidikan nilai (TUGAS FILSAFAT 8)
- aliran idealisme dan realisme serta pengaruhnya da...
- desain evaluasi kurikulum (TUGAS FILSAFAT 7)
- prinsip-prinsip dan pendekatan pengembangan kuriku...
- komponen lingkungan dalam pembentukan manusia yang...
- aliran eksistensialisme (TUGAS 3)
- aliran idealisme (tugas 2)
- aliran rasionalisme (tugas 1)
Senin, 29 Desember 2014
[INDEX]Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Sabtu, 20 Desember 2014
kebudayaan dan seni (TUGAS FILSAFAT 21)
KEBUDAYAAN DAN SENI
Oleh: Siti umroh
Pengertian
Kebudayaan
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya dalam
pengertian yang luas adalah pancaran daripada budi dan daya. Seluruh apa yang
difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan
kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau umat. Budaya tidak lagi
dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi dan murni dari sesuatu
bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan peradaban.
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain,
yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Upacara
kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang
mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-
benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat Menurut Koentjoroningrat (1986), kebudayaan dibagi ke dalam tiga
sistem, pertama sistem budaya yang lazim disebut adat-istiadat, kedua sistem
sosial di mana merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dari manusia.
Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung
keterbatasan jasmaniahnya.
Berdasarkan
konteks budaya, ragam kesenian terjadi disebabkan adanya sejarah dari zaman ke
zaman. Jenis-jenis kesenian tertentu mempunyai kelompok pendukung yang memiliki
fungsi berbeda. Adanya perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang
hasil-hasil seninya disebabkan oleh dinamika masyarakat, kreativitas, dan pola
tingkah laku dalam konteks kemasyarakatan. Koentjoroningrat mengatakan,
Kebudayaan Nasional Indonesia adalah hasil karya putera Indonesia dari suku
bangsa manapun asalnya, yang penting khas dan bermutu sehingga sebagian besar
orang Indonesia bisa mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan
karyanya.Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi majemuk karena ia bermodalkan
berbagai kebudayaan, yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya
sendiri-sendiri.
Pengalaman serta kemampuan daerah itu memberikan jawaban terhadap masing-masing
tantangan yang member bentuk kesenian, yang merupakan bagian dari kebudayaan.
Apa-apa saja
yang menggambarkan kebudayaan, misalnya ciri khas :
- Rumah adat daerah yang berbeda satu dengan daerah lainnya, sebagai contoh ciri khas rumah adat di Jawa mempergunakan joglo sedangkan rumah adat di Sumatera dan rumah adat Hooi berbentuk panggung.
- Alat musik di setiap daerah pun berbeda dengan alat musik di daerah lainnya. Jika dilihat dari perbedaan jenis bentuk serta motif ragam hiasnya beberapa alat musik sudah dikenal di berbagai wilayah, pengetahuan kita bertambah setelah mengetahui alat musik seperti Grantang, Tifa dan Sampe.
- Seni Tari, seperti tari Saman dari Aceh dan tari Merak dari Jawa Barat.
- Kriya ragam hias dengan motif-motif tradisional, dan batik yang sangat beragam dari daerah tertentu, dibuat di atas media kain, dan kayu.
- Properti Kesenian
- Kesenian Indonesia memiliki beragam-ragam bentuk selain seni musik, seni tari, seni teater, kesenian wayang golek dan topeng merupakan ragam kesenian yang kita miliki. Wayang golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan teater yang menggunakan media wayang, sedangkan topeng adalah bentuk seni pertunjukan tari yang menggunakan topeng untuk pendukung.
- Pakaian Daerah. Setiap propinsi memiliki kesenian, pakaian dan benda seni yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
- Benda Seni. Karya seni yang tidak dapat dihitung ragamnya, merupakan identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Benda seni atau souvenir yang terbuat dari perak yang beasal dari Kota Gede di Yogyakarta adalah salah satu karya seni bangsa yang menjadi ciri khas daerah Yogyakarta, karya seni dapat menjadi sumber mata pencaharian dan objek wisata.Kesenian khas yang mempunyai nilai-nilai filosofi misalnya kesenian Ondel-ondel dianggap sebagai boneka raksasa mempunyai nilai filosofi sebagai pelindung menolak bala, nilai filosofi dari kesenian Reog Ponorogo mempunyai nilai kepahlawanan yakni rombongan tentara kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang akan melamar putri Kediri dapat diartikan Ponorogo menjadi pahlawan dari serangan ancaman musuh, selain hal-hal tersebut, adat istiadat, agama, mata pencaharian, system kekerabatan dan sistem kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dari kebudayaan.
- Adat Istiadat. Setiap suku mempunyai adata istiadat masing-masing seperti suku Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Bali adalah adat istiadat Ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaranlubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.
1.2. Pengertian
Seni
Kata “seni”
adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan
kadar pemahaman yang berbeda. Konon kata seni berasal dari kata “sani” yang
artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Dalam bahasa Inggris dengan istilah
“ART” (artivisial) yang artinya adalah barang/atau karya dari sebuah kegiatan.
Konsep seni
terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan
masyarakat yang dinamis. Beberapa pendapat tentang pengertian seni:
- Ensiklopedia Indonesia : Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar
- Aristoteles : seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu,
- Ki Hajar Dewantara : seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya,
- Akhdiat K. Mihardja : seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani sipenerimanya.
- Erich Kahler : seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan symbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang mencerminkan “dunia besar”.
Menjadi manusia mengenal pendidikan klasik (TUGAS FILSAFAT 20)
MENJADI
MANUSIA: MENGENAL PENDIDIKAN KLASIK
Oleh :
Siti Umroh
“Waktu adalah penguji yang paling ketat”,
demikian ujar Pdt. Stephen Tong di dalam satu khotbahnya. Sejalan dengan diktum
tersebut, maka ketika kita menemukan di dalam sejarah satu hal yang teruji
untuk masa yang amat panjang, selayaknyalah kita mempelajari hal tersebut.
Dalam bidang pendidikan, satu sistem yang telah teruji selama lebih dari 2.000
tahun adalah pendidikan klasik (classical education). Mulai dari
kurikulum (enkyklios paideia) dari pendidikan Yunani klasik, liberal
artes dari pendidikan Romawi, adaptasinya di dalam pendidikan Kristen pada
zaman Bapa-bapa Gereja dan kelahirannya kembali di zaman Renaissance, bahkan
sampai kepada sistem pendidikan Barat di Abad Pencerahan, pendidikan klasik
telah menjadi sistem pendidikan dasar yang solid untuk membentuk kemanusiaan
dan memperkembangkan kebudayaan manusia. Namun sayangnya, pendidikan klasik
telah dianggap kuno dan tersingkirkan oleh pendidikan modern yang lebih
menekankan keuntungan ekonomis atau kepentingan politik.
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh
satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan
klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan
aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia
di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik
Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah
terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut
‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga
ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang
menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal
yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya
melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih
rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau
berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana
ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar”
(“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).
Kita tentu sering mendengar kalimat: “Kamu harus
sekolah, supaya bisa jadi orang.” Frasa “jadi orang” ini
memiliki berbagai macam penafsiran. Kebanyakan orang menafsirkan frasa “jadi
orang” dari perspektif kesuksesan finansial: “Kamu harus sekolah, supaya
nanti bisa bekerja dan dapat uang banyak.” Jadi, menurut interpretasi ini, jika
kita tidak bisa meraih kesuksesan finansial, kita tidak layak disebut manusia.
Namun frasa “menjadi manusia” diartikan secara lain oleh para pendidik dalam
tradisi pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik berkata bahwa setiap manusia
memiliki tanggung jawab untuk memperkembangkan dirinya menuju keutuhan
kemanusiaannya.
Di dalam penekanannya akan pengembangan potensi
individual melalui pembelajaran kebudayaan manusia, pendidikan klasik tidak
mengenal dikotomi antara individu dan komunitas. Individu hanya dapat
berkembang secara penuh di dalam komunitas, dan komunitas berkembang ketika
individu berkembang. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat individualisme
modern yang menempatkan individu ke dalam sistem kompetisi di komunitasnya.
Dalam pendidikan klasik, perkembangan individu dan perkembangan komunitas
berjalan secara harmonis. Humanitas adalah kesempurnaan kemanusiaan di
dalam satu individu yang mengakibatkan kepada kemajuan kebudayaan di dalam
komunitasnya.
aliran positivisme dalam filsafat ilmu (TUGAS FILSAFAT 19)
ALIRAN
POSITIVISME DALAM FILSAFAT ILMU
OLEH:
SITI UMROH (2227130538)
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno . Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena. Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi (fictionalist). Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi.
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Tokoh aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran – ukuran tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
a) Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan
b) Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan
aliran filsafat pragmatisme (TUGAS FILSAFAT 18)
ALIRAN
FILSAFAT PRAGMATISME
KONSEP PRAGMATISME
KONSEP PRAGMATISME
Oleh
: siti umroh
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam berasal dari bahasaYunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Menurut aliran ini, hakikat dari realiatas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realiatas adalah pengalam yang dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan tidak lagi melihat faktor – faktor lain semisal dosa atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang dikataka James, “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia.”
Tokoh-tokoh
Filsafat Pragmatisme
1.William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
2.John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Langganan:
Postingan (Atom)